Dekan Fakultas Hukum Unhas Menjadi Keynote Speaker Di 3rd Sriwijaya Law Conference

Dekan Fakultas Hukum Unhas menjadi keynote speaker di 3rd Sriwijaya Law Conference

Dekan Fakultas Hukum Unhas Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., menjadi keynote speaker di 3rd Sriwijaya Law Conference pada Kamis (29/11/2018) yang berlangsung di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang. Tema yang dibahas pada konfrensi ini mengenai Penemuan Hukum (Rechtsvinding) melalui Scientific Evidence dalam Sistem Peradilan Indonesia. Konferensi ini juga menghadirkan Narasumber antara lain Guru Besar FH Universitas Padjajaran Prof. Dr. Ida Nurlinda, S.H., M.Hum., Guru Besar FH Universitas Brawijaya Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H., M.S., dan Guru Besar FH Universitas Lambung Mangkurat Prof. Dr. M. Hadin Muhjad, S.H., M.Hum.


Dalam Pemaparannya, Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., menyampaikan bahwa bukti ilmiah merupakan salah satu alat bukti yang sangat penting digunakan oleh hakim dalam melakukan penemuan hukum khususnya terhadap penyelesaian kasus-kasus yang memang harus menggunakan kajian ilmiah dalam proses pembuktiannya. Seperti pada kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam lainnya, bukti ilmiah sangat diperlukan untuk menjelaskan ada tidaknya atau terjadi tidaknya pencemaran atau kerusakan lingkungan yang dilakukan pihak tertentu. Untuk itu dibutuhkan saksi ahli (expert wtinesses) untuk menerangkan dan menguraikan bukti dan prosedur yang digunakan dalam memeroleh bukti apabila ada kasus pencemaran atau kerusakan lingkungan. Bukti ilmiah adalah bukti yang diambil dari prosedur ilmiah yang dapat membantu mengungkap fakta untuk memahami bukti atau menentukan fakta yang dipermasalahkan dalam proses peradilan. Penggunaan bukti-bukti ilmiah banyak dilakukan untuk penanganan perkara lingkungan hidup atau SDA sehingga para hakim diharapkan bersikap progresif. Alasannya, perkara lingkungan hidup dan SDA sifatnya rumit dan banyak ditemui adanya bukti-bukti ilmiah. Olehnya itu hakim harus berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup seperti prinsip kehati-hatian dan melakukan judicial activism. Namun permasalahannya, pemahaman scientific evidence (bukti ilmiah) belum merata di kalangan aparat penegak hukum. Penegak hukum masih menggunakan cara-cara konvensional dalam mengungkap perkara lingkungan hidup. Sementara alat bukti dalam perkara lingkungan lebih luas, bisa mencakup informasi elektronik, magnetic, optic dan atau data rekaman yang terekam secara elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU No 32 Tahun 2009 tentang PPHL. Dari sisi proses pembuktiannya sendiri dibutuhkan ahli atau pakar untuk dapat mengungkap terpenuhinya unsur-unsur delik, meneliti keabsahan dokumen (misalnya kelengkapan dokumen perizinan/AMDAL, penelitian lapangan, pengabilan sampel, hingga analisis laboratorium. Hasil analisis laboratorium yang dituangkan scara tertulis bisa menjadi alat bukti surat dan jika disampaikan dalam proses persidangan akan menjadi alat bukti keterangan ahli . Namun masalahnya, siapa yang harus menanggung semua untuk menemukan bukti ilmiah ini.