Kuliah Umum Pendekatan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana

Kuliah Umum Pendekatan Restorative Justice dalam Hukum Pidana

Sebagai rangkaian peringatan Dies Natalis Ke-68, Fakultas Hukum Unhas menggelar Kuliah Umum tentang Pendekatan Restorative Justice dalam Hukum Pidana dengan menghadirkan Narasumber Guru Besar Hukum Pidana Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Prof. Dr. Bambang Waluyo, S.H., M.H. yang juga Plt. Wakil Jaksa Agung RI Tahun 2016-2017 dan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Tahun 2013-2016. Kuliah Umum ini dipandu oleh Dekan Fakultas Hukum Unhas Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum dan berlangsung pada Kamis (13/2)di Baruga Prof. Dr. Baharuddin Lopa S.H. FH-UH.


Dalam praktiknya, penerapan prinsip keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia belum terlaksana secara efektif karena dihadapkan pada beberapa permasalahan, diantaranya Inkonsistensi Aparat Penegak Hukum dalam penerapan keadilan restoratif terhadap suatu perkara, dimana hal tersebut dapat dilihat dari masih adanya disparitas dalam penanganan perkara yang sejenis. Pemahaman hukum dari korban ataupun keluarga korban yang masih berparadigma retributif, sehingga lebih mengedepankan upaya pembalasan terhadap tindak pidana yang terjadi dibandingkan mencari alternatif terbaik untuk penyelesaian permasalahan secara damai. Tujuan dan fungsi hukum masih dipahami sebagai instrumen untuk mewujudkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, padahal hukum juga seharusnya difungsikan sebagai alat pengendali sosial yang mampu menciptakan ketenteraman dan kedamaian (peaceful). Ketidakmampuan dari pelaku untuk melakukan pembayaran ganti kerugian, terutama dalam hal tuntutan restitusi yang dimintakan oleh korban ataupun kerugian keuangan negara yang cukup besar, sehingga seringkali putusan pengadilan yang mencantumkan tentang restitusi tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Tuntutan kompensasi maupun restitusi seringkali tidak didasarkan pada bukti atau dokumen-dokumen yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga seringkali nominal kompensasi maupun restitusi hanya didasarkan pada asumsi dan berdampak pada tidak dikabulkannya tuntutan kompensasi maupun restitusi di tingkat persidangan.


Perwujudan supremasi hukum melalu Restorative Justice pada hakekatnya adalah terwujudnya proses penegakan hukum (keadilan) berorientasi pada pemulihan hubungan pada hubungan keadaan semula (restoratif), bukan keadilan yang hanya berorientasi pembalasan (retributif dan bukan keadilan yang hanya berorientasi pada pemulihan kerugian. Impelentasi prinsip-prinsip Restorative Justice pada penyelesaian perkara di luar pengadilan sebaiknya dilakukan oleh jaksa melalui pengentian penuntutan demi kepentingan umum berdasarkan asas oportunitas. Sebab jaksa merupakan hakim semu (quasi judical service). Bila dilakukan hakim, berarti perkara tersebut sudah masuk ke pengadilan. Aturan yang ada saat ini belum mendukung penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan oleh jaksa melalui mekanisme Restorative Justice, sehingga banyak perkara-perkara yang menurut rasa keadilan masyarakat tidak perlu diajukan ke pengadilan, namun oleh jaksa tetap dilakukan penuntutan pengadilan karena tidak ada aturan yang memberikan kewenangan jaksa untuk mengesampingkan penuntutannya.