Fgd Pusat Kajian Kejaksaan Fakultas Hukum Unhas Bekerja Sama Dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Dan Persatuan Jaksa Indonesia (pji) Wilayah Suls

FGD Pusat Kajian Kejaksaan Fakultas Hukum Unhas bekerja sama dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) Wilayah Suls

Pusat Kajian Kejaksaan Fakultas Hukum Unhas bekerja sama dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) Wilayah Sulsel menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Mendorong Peguatan Institusi Kejaksaan melalui Revisi RUU Kejaksaan” pada Rabu (23/9) di Baruga Prof. Dr. Baharuddin Lopa Fakultas Hukum Unhas. Diskusi ini dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Hukum Unhas Prof. Dr. Farida Patittingi, SH., M.Hum. serta dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel Dr. Firdaus Dewilmar, S.H., M.H. dan Inspektur IV Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung RI Dr. Chaerul Amir, S.H., M.H. sebagai Pembicara.


Menurut Kajati, perubahan UU Kejaksaan harus memperhatikan prinsip due process of law dengan berpijak secara linier dengan International Criminal Justice System. Menurutnya, UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan sudah tidak mampu lagi menjawab perkembangan penegakkan hukum. Selain itu, mengenai jabatan Jaksa, apakah masuk sebagai ASN atau merupakan jabatan profesi. Juga perlu dipikirkan apakah Jaksa bisa sebagai Pejabat Negara atau Pejabat Hukum Negara atau ASN. Hal senada diungkapkan oleh Inspektur IV Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung RI yang menyampaikan bahwa jabatan kejaksaan itu harus disebut sebagai “Pejabat Hukum Negara”. Jabatan-jabatan penegak hukum lain belum ada yang disebut sebagai pejabat hukum Negara, karena itu, jabatan kejaksaan mesti disebut sebagai “pejabat hukum Negara”. Dekan Fakultas Hukum yang juga tampil sebagai pembicara dalam FGD menyampaikan banyak catatan termasuk membandingkan sejumlah Undang-Undang tentang Kejaksaan sejak tahun 1961. Catatan-catatan Profesor Farida menunjukkan upaya beliau menguatkan institusi kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum.


Para ahli mendiskusikan mengenai beberapa ketentuan baru dalam RUU Kejaksaan. Seperti ketentuan mengenai mediasi penal, sebagai salah satu kewenangan jaksa. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 30 RUU. Menurut Prof. Dr. Musakkir, S.H., M.H., kata mediasi penal kurang tepat. Karena kata “mediasi” berhubungan dengan penyelesaian perkara diluar pengadilan, sedangkan kata “penal” berarti hukuman. Di dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan juga tidak ditemukan kata mediasi penal ini. Karena itu, Guru Besar Fakultas Hukum Unhas ini menyarankan agar dipikirkan kembali penggunaan istilah mediasi penal dalam RUU. Posisi Jaksa sebagai Dominus Litis, penuntut tunggal yang harus dipahami sebagai salah satu prinsip dalam hukum pidana. Ahli Hukum Pidana, Prof. Dr. H.M. Said Karim, S.H., M.H., M.Si. menyebutkan bahwa kewenangan jaksa dalam penyidikan, penyelidikan, penuntutan, pelaksanaan putusan sebenarnya satu kesatuan. Sehingga perlu memang diperkuat, meskipun harus dikoordinasikan dengan baik dengan institusi lain. Para Ahli yang hadir dalam FGD terbatas ini antara lain Prof. Dr. H.M. Said Karim, S.H., M.H., M.Si., Prof. Dr. Musakkir, S.H., M.H., Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.Si., Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H., Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H., Dr. Syamsuddin Muhtar, S.H., M.H., Dr. Muh. Hasrul, S.H., M.H., dan Yudi Indra Gunawan, S.H., M.H.

Sejumlah isu lain yang cukup penting bagi penguatan institusi kejaksaan dalam penegakkan Hukum dibahas secara detail dalam FGD. Ketua Pusat Kajian Kejaksaan Fakultas hukum Unhas Fajlurrahman Jurdi, S.H., M.H. menyampaikan bahwa revisi RUU Kejaksaan ini adalah upaya politik hukum untuk melindungi dan memberi jaminan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat melalui institusi kejaksaan. Meskipun demikian, perlu terus dikawal pembahasan RUU ini agar tetap dalam koridor politik legislasi DPR.