165 Guru Besar Dari 24 Universitas Di Timur Indonesia Dukung Kpk

165 Guru Besar dari 24 Universitas di Timur Indonesia Dukung KPK

MAKASSAR, KOMPAS.com - Sebanyak 165 guru besar dari 24 universitas se-Kawasan Timur Indonesia (KTI) memberikan dukungan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dukungan tersebut diberikan terkait munculnya Pansus Angket DPR yang dianggap bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.

Tergabungnya 165 guru besar dari 24 universitas se-KTI setelah guru- guru besar dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar membentuk Pusat Kajian Anti Korupsi (Pangkas). Para guru besar atau akademisi di Indonesia Timur ini menolak Pansus Angket terhadap KPK.

Menurut salah satu pemerkarsa Pangkas, Prof Farida Patittingi yang juga Guru Besar Unhas saat dikonfirmasi, Selasa (20/6/2017) malam, mengatakan, para guru besar menilai, Pansus Angket KPK cacat hukum karena baik prosedur maupun substansinya bertentangan dengan undang-undang.

"Sebagian anggota panitia angket KPK, ada yang disebut dalam kasus korupsi e-KTP sehingga terjadi conflict of interest atau benturan kepentingan. Materi angket yang ditujukan pada KPK tidak jelas obyeknya, bahkan mencampuri urusan penegakan hukum, sehingga berpotensi sebagai obstruction of justice atau menghalang-halangi proses penegakan hukum," katanya.

Farida menegaskan, para guru besar menilai, panitia angket KPK jelas ingin melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia dan bertujuan melemahkan KPK secara terstruktur dan terencana dengan baik.

Dengan begitu, 165 guru besar se-KTI mendukung KPK untuk menyelesaikan kasus e-KTP sampai tuntas dengan tidak pandang bulu.

"Kami mendukung KPK untuk tetap konsisten menyelesaikan seluruh kasus korupsi yang terjadi di tanah air demi Indonesia yang bebas dan bersih dari korupsi," harapnya.

Farida menuturkan, pansus angket tidak bisa memaksakan kehendaknya menghadirkan saksi kasus e-KTP, Miryam Haryani dalam sidang panitia angket. Dia pun meminta, anggota DPR menghormati proses hukum yang berjalan.

"Sebagai warga Indonesia yang baik, wajib mengikuti proses berjalan dan memenuhi panggilang penegak hukum. Makanya, jangan anggota DPR memaksakan kehendaknya untuk mengacaukan hukum dengan membentuk panitia angket KPK," tandasnya.

Farida menganggap, DPR salah sasaran membentuk panitia angket. Karena hak angket hanya berlaku pada lembaga eksekutif dalam pemerintahan.

Namun untuk hak angket terhadap penegak hukum, itu tidak berlaku. Karena ada hal-hal yang tidak bisa diungkapkan dalam proses penyelidikan dan penyidikan.

"Dibutuhkan suatu penguatan hukum untuk KPK. Dalam penegakan hukum, ada ranah tertentu tidak bisa diakses dan tidak boleh dibuka untuk umum dan hanya diketahui oleh penegak hukum," terangnya.

 

SUMBER