Diskusi Publik Konflik Pertanahan Dan Penanganan Dampak Sosial Proyek Strategis Nasional Pulau Rempang

Diskusi Publik Konflik Pertanahan dan Penanganan Dampak Sosial Proyek Strategis Nasional Pulau Rempang

Fakultas Hukum Unhas melalui Departemen Hukum Keperdataan mengadakan Diskusi Publik dengan tema Konflik Pertanahan dan Penanganan Dampak Sosial Proyek Strategis Nasional Pulau Rempang dengan menghadirkan pembicara Deputi Bidang Pengelolaan Kawasan dan Investasi Badan Pengusahaan Batam Dr. Sudirman Saad, S.H., M.H. yang juga merupakan Dosen Fakultas Hukum Unhas. Kegiatan berlangsung di Baruga Prof. Dr. Baharuddin Lopa, S.H. FH Unhas pada Senin (23/10) dan dipandu Moderator oleh Kepala Pusat Penelitian Agraria LPPM Unhas Dr. Kahar Lahae, S.H., M.Hum.

Kegiatan ini dimaksudkan untuk merespon berbagai peristiwa yang terjadi dalam pelaksanaan proyek strategis nasional Pengembangan Kawasan Rempang & Eco-City dan dapat menjadi wadah dalam berdialog dalam memberikan solusi ideal atas Pengembangan wilayah Kawasan Rempang & Eco-City dengan mewujudkan kepentingan umum, kesejahteraan dan kemanfaatan bagi Masyarakat. Pengembangan Rempang Eco-City oleh Pemerintah Pusat melalui kerja sama antara BP Batam dan PT. Makmur Elok Graha (MEG) menyiapkan Pulau Rempang sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang terintegrasi demi mendorong peningkatan daya saing lndonesia dari Singapura dan Malaysia. Dengan nilai investasi yang ditaksir mencapai Rp 381 triliun hingga tahun 2080, pengembangan pulau Rempang diharapkan dapat memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi (spillover effect) bagi Kota Batam serta kabupaten/kota lain di Provinsi Kepri. Pada pelaksanaannya, kemudian pengembangan proyek ini banyak menimbulkan konflik yang terjadi antara Masyarakat sekitar termasuk Masyarakat adat yang bermukim di wilayah tersebut dengan BP Batam serta pihak pengembang (Swasta). Relokasi yang diupayakan pada awal bulan September juga menjadi perhatian sejumlah pihak secara nasional dan mendapat kritik tajam dari Komnas HAM (Hak Asasi Manusia), pemerhati masyarakat hukum adat dan Ombudsman. Disinyalir bahwa relokasi Masyarakat dari pulau Rempang ke pulau Galang dilakukan dengan indikasi sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Tidak saja pada rencana relokasi tersebut yang menimbulkan kekhawatiran tetapi juga pada areal lahan yang merupakan areal kawasan hutan lindung dan konservasi.