Seruan Profesor Farida Patittingi Untuk Melindungi Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil

Seruan Profesor Farida Patittingi untuk Melindungi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Artikel "Seruan Profesor Farida Patittingi untuk Melindungi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Mencegah eksploitasi pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengabaikan keadilan sosial, berdampak pula pada ketahanan nasional dalam menjaga batas-batas kedaulatan negara". Pada rubrik Perempuan dan Pendidikan Hukum di Media hukumonline.com, Selasa, 31 December 2019

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e0ab7553e8f1/seruan-profesor-farida-patittingi-untuk-melindungi-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil

Perawakannya tinggi dan langsing, Farida Patittingi berbicara dengan gaya bersemangat dan teratur. Dialek khas Makassar terasa kental pada tiap tuturan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini. Sering terlihat dengan paduan celana panjang dan blazer, penampilannya semakin berkesan elegan. Tak tampak kesan dirinya telah melalui setengah abad usia. Tuturannya tegas dan lugas pada gagasan yang diungkapkan.

Hukumonline berkesempatan menjumpai perempuan kelahiran Bone, 26 Juni 1967 itu akhir November silam. Farida memimpin Rapat Nasional Badan Kerja Sama Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia di kampus FH UI Depok. Tugas itu dijalaninya selaku Ketua dari Asosiasi tersebut. Kala itu Farida yang juga menjabat Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin hadir bersama Dekan dan wakil dekan dari puluhan Fakultas Hukum lainnya. Dalam pertemuan itu, para akademisi membahas sejumlah hal, termasuk kurikulum pendidikan hukum di Indonesia. Farida tengah menjabat Dekan untuk periode kedua. Sebelumnya ia telah menuntaskan masa jabatan Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin periode 2014–2018. Tangan dinginnya rupanya mendatangkan kepercayaan untuk kembali menjabat periode 2018–2022.

Sederet penghargaan telah diraih Farida untuk berbagai kontribusinya. Sebut saja penghargaan sebagai Inspirational Individual for Women’s Leadership dari HELM’s Program for ”Women’s Leadership in Higher Education”, Kerjasama Ditjen DIKTI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan USAID/HELM (Higher Education Leadership and Management) pada 2013 lalu. Ada juga penghargaan khusus dari Gubernur Sulawesi Selatan atas kontribusi dalam Pembangunan Sulawesi Selatan Tahun 2008-2018, yang diberikan pada Maret 2018. Farida tercatat telah lama membantu pemerintah daerah Sulawesi mulai dari sebagai anggota Dewan Riset Daerah hingga staf ahli Gubernur. Belakangan ia terlibat pula dalam Tim Asistensi Hukum Menkopolhukam Periode 2019. Sosoknya tampak begitu aktif berkiprah tidak hanya di regional Pulau Sulawesi namun juga secara nasional.

Namun, pencapaian kebanggaan Farida justru keberhasilannya meraih gelar Guru Besar Ilmu Hukum pada tahun 2010. Ia mengaku berusaha melakukan yang terbaik sejak pertama merintis karier akademisi tahun 1991 silam. “Saya lakukan secara alamiah, tapi prinsip saya  bahwa kalau orang lain bisa, maka insya Allah saya juga bisa,” kata Farida. Menjadi perempuan kontributif bagi bangsa dan negara adalah jalan yang dinikmatinya. Farida menolak segala stereotip bahwa perempuan tak bisa berkiprah lebih baik dari laki-laki di ruang publik. “Saya selalu mendorong mahasiswa dan kolega perempuan untuk berkiprah, negara sudah memberikan kesempatan luas dalam konstitusi dan perundang-undangan saat ini, bahkan ada afirmasi,” ujarnya.

Setelah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada 1990, Farida mulai bertugas sebagai dosen di almamaternya pada 1991. Studi magister hukum ditempuhnya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Selepas meraih gelar magister tahun 2000, ia menyelesaikan studi doktor ilmu hukum pada 2008 di Universitas Hasanuddin. Kecintaannya pada bangsa dan negara tercermin dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Farida memilih tema bidang hukum agraria sesuai kompetensi khusus yang dirintisnya sejak jenjang sarjana.

Melindungi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

“Perkenankan saya untuk menyampaikan sebuah tawaran pemikiran terhadap pengaturan  penguasaan dan pemilikan tanah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” kata Farida dalam pembukaan orasi ilmiah pengukuhannya kala itu. Ia memberi judul orasi tersebut ‘Penerapan Prinsip Keadilan Sosial (Social Justice) dalam Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Tanah di Wilayah Pesisir dan  Pulau-Pulau Kecil di Indonesia".

Farida meyakini bahwa persoalan agraria terutama penguasaan tanah adalah urusan sumber daya strategis. Kehidupan berbangsa dan bernegara selalu membutuhkan lahan tanah sebagai tempat kedudukan sekaligus faktor penggerak kesejahteraan. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Fakta fisik membuktikan bahwa Indonesia terbentuk dari konfigurasi pulau-pulau yang berjumlah sekitar 17.504 dengan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer. Susunan pulau yang demikian banyak itu ternyata sebagian besar berupa pulau-pulau kecil yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 13.000 buah. “Pulau-pulau kecil ini berperan strategis sebagai penentu batas negara,” katanya kepada hukumonline.

Farida menyampaikan kritik bahwa politik hukum agraria terhadap tanah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak cukup bijak menimbang peran strategis tersebut. Masyarakat lokal penghuni pesisir dan pulau-pulau kecil kerap dalam posisi lemah yang mudah digusur pemerintah. Alasannya karena tidak memiliki bukti kepemilikan sertifikat. Kritik Farida saat itu terutama soal Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Seluruh tanah pesisir dan pulau-pulau kecil langsung dinyatakan sebagai tanah negara. Padahal hukum yang hidup di masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil telah lama berlaku sebelum kehadiran negara. Atas nama ketahanan nasional, pengelolaan tanah di pesisir dan pulau-pulau kecil tidak bisa mengabaikan hukum yang hidup di masyarakat termasuk hukum adat soal pertanahan.

Pemerintah justru perlu memberdayakan masyarakat lokal di pesisir dan pulau-pulau kecil untuk melindungi batas-batas negara. Kesejahteraan mereka harus dipenuhi dengan memberikan hak penguasaan tanah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tidak seharusnya pemerintah kaku dengan positivisme hukum tanah mengenai bukti kepemilikan di pulau-pulau kecil serta pesisir. Apalagi mengabaikan masyarakat setempat yang kerap dalam posisi marginal. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil selama ini dianggapnya lebih menekankan pada aspek ekonomi. Terjadi kecenderungan eksploitasi besar-besaran yang berdampak pada aspek lingkungan dan tatanan kehidupan sosial masyarakat setempat. Bahkan saat UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terbit pun tak kunjung berpihak pada kepentingan rakyat. Oleh karena itu Farida menyerukan prinsip keadilan sosial untuk kembali ditekankan. Pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus didasarkan pada karakteristik khas masing-masing. Hal itu untuk mencegah eksploitasi sebatas untuk permukiman, kegiatan usaha pariwisata serta pengembangan bisnis lainnya.

Farida mengingatkan bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir harus menyeimbangkan kepentingan masyarakat dan negara. Hak-hak masyarakat adat setempat harus dipenuhi tanpa dibebani dengan sikap kaku soal bukti kepemilikan sertifikat. Kesejahteraan mereka harus jadi prioritas. Pada saat yang sama, banyaknya jumlah pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir yang sangat luas justru membutuhkan penjagaan dari pelanggaran batas kedaulatan. Kehadiran masyarakat adat di sana harus dilihat sebagai cara penjagaan efektif. Tentu saja hak-hak mereka harus lebih dulu diakui sebagai pemilik hak atas tanah.