Menyemarakkan perayaan Dies Natalis nya yang ke-73 dan juga menjelang peringatan 20 tahun Kesepakatan Damai Helsinki yang mengakhiri konflik di Aceh, Fakultas Hukum Unhas menyelenggarakan Diskusi Publik dengan Tema “Merawat Damai Berkelanjutan: Pembelajaran dari Proses dan Temuan KKR Aceh” pada Kamis (8/5) di Ruang Moot Court Dr. Harifin A. Tumpa, S.H., M.H. Kegiatan dibuka secara resmi oleh Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FH Unhas Prof. Dr. Maskun, S.H., LL.M. dan menghadirkan sebagai narasumber Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Bustami, S.Sos.I., M.Sos., Indonesia Country Officer dari LSM Asia Justice and Rights (AJAR) Mulki Makmun, serta Guru Besar FH Unhas Prof. Dr. Abdul Maasba Magassing, S.H., M.H. Dosen Hukum Internasional Mutiah Wenda Juniar, S.H., LL.M. bertindak sebagai Moderator.
Bustami mengawali pemaparannya dengan memberi penjabaran mengenai institusi KKR Aceh, terutama latar belakang sejarah, dasar hukum dan struktur organisasinya. Dia kemudian menjabarkan proses kerja KKR Aceh dalam melakukan pengungkapan kebenaran atas peristiwa-peristiwa kelam yang terjadi di Aceh semasa Konflik, serta tindakan-tindakan yang dilakukan KKR dalam mendorong rekonsiliasi dan penyelesaian luka masa lalu bagi korban Konflik Aceh. Dia terkhususnya menekankan pentingnya penerapan Kurikulum Damai dalam pendidikan di Aceh sebagai cara merawat ingatan masyarakat Aceh akan tragedi masa lalu dan menjadikannya pembelajaran bagi masa depan.
Kemudian, Mulki Makmun dari AJAR memberikan pemaparan mengenai peranan strategis dari kelompok masyarakat sipil (civil society) dalam proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh, seperti mendorong pembentukan KKR Aceh, memberikan dukungan teknis dan operasional bagi KKR Aceh, dan membantu penyuksesan implementasi program KKR Aceh, terutama dalam proses pengungkapan kebenaran dan penyusunan rekomendasi. Dia juga menjabarkan aspek-aspek yang menjadi tantangan yang dihadapi KKR Aceh dalam melaksanakan pekerjaanya seperti ambivalensi status lembaga KKR dan hambatan birokratis, serta harapan masyarakat Aceh dari proses KKR sebagai jalan penyelesaian tragedi masa lalu.
Prof. Dr. Abdul Maasba Magassing, S.H., M.H. memaparkan bagaimana tindakan kekerasan ekstrim yang berlangsung dalam Konflik Aceh, dari perspektif hukum HAM sejatinya merupakan kejahatan HAM berat yang penyelesaiannya tidak dapat dibatasi pada mekanisme hukum nasional. Dia juga menjabarkan keberadaan KKR Aceh sebagai bentuk penerimaan negara akan perlunya proses penyelesaian kejahatan HAM masa lalu, dan menekankan akan pentingnya perlindungan hukum yang patut akan HAM yang disertai pemahaman HAM yang memadai di kalangan masyarakat.
Berbagai pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa, seperti mengenai tanggapan dan tindak lanjut temuan dan rekomendasi KKR oleh pemerintah pusat, peran syariat Islam sebagai pranata hukum dalam penyelesaian kasus masa lalu di Aceh, hingga solusi antara kontradiksi yang timbul dalam penegakan HAM secara umum pada tingkatan teori dan praktik, menunjukkan kuatnya minat sivitas akademika FH Unhas pada pembahasan Diskusi Publik.