Fakultas Hukum Unhas menyelenggarakan Simposium Akademik Hukum Acara Pidana dengan tema “Memperkuat Akuntabilitas dan Profesionalisme Polri dalam RUU KUHAP” pada Kamis, 24 Juli 2025 bertempat di Moot Court Dr. Harifin A. Tumpa, S.H., M.H. Kegiatan tersebut merupakan Kerjasama Fakultas Hukum Unhas dengan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI) dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP).
Kegiatan ini menghadirkan narasumber Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A., (Sekjen ASPERHUPIKI/ Dosen Hukum Bisnis Binus University), Iftitahsari, S.H., M.Sc. (Peneliti ICJR) Prof. Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H, (Guru Besar Hukum Pidana Unhas), dan Abdul Azis Dumpa, S.H., M.H. (Direktur LBH Makassar) yang dimoderatori oleh Dr. Abdul Asis, S.H., M.H. (Dosen Hukum Pidana FH Unhas). Kerjasama dengan ICJR ini merupakan yang kedua kalinya dengan membahas hal yang sama, yakni RKUHAP.
Kegiatan ini dihadiri oleh kurang lebih 100 peserta yang terdiri dari kalangan akademisi hukum dari berbagai universitas di Kota Makassar, seperti Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, serta perwakilan dari lembaga kemahasiswaan dan sejumlah Lembaga Bantuan Hukum, di antaranya LBH Patriam Kegiatan ini dihadiri oleh kurang lebih 100 peserta yang terdiri dari kalangan akademisi hukum dari berbagai universitas di Kota Makassar, seperti Universitas Muslim Indonesia, Universitas Megaresky, Universitas Sawerigading, Universitas Islam Makassar, Universitas Negeri Makassar,Universitas Islam Negeri Makassar, dan Universitas Bosowa serta perwakilan dari lembaga Kemahasiswaan. Kegiatan ini juga dihadiri sejumlah Lembaga Bantuan Hukum, di antaranya LBH Patriam, LBH Apik, LBH Makassar Peradi RBA, juga Peradi SAI DPC Makassar.
Simposium ini dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Hukum Unhas. Melalui sambutannya Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.A.P., menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada ICJR, ASPERHUPIKI beserta LBH Makassar yang telah mengajak Fakultas Hukum Unhas untuk bersinergi dan berkontribusi dalam mewujudkan kepolisian yang lebih akuntabel dan profesional. Lebih lanjut ia menyampaikan harapan bahwa forum akademik dapat melahirkan gagasan yang jernih bukan dengan adanya kedekatan kepentingan tertentu. ”Saya berharap banyak dari forum ini agar lahir gagasan yang jernih dan menghendaki betul bagaimana kepolisian dapat akuntabel dan profesional”, jelasnya.
Peneliti ICJR, Iftitahsari S.H., MSc. menjelaskan alasan mengangkat tema ini dikarenakan Polri merupakan subsistem yang paling penting dalam hukum acara pidana di Indonesia. Sebab kepolisian merupakan pintu dalam penanganan kasus pidana. Sehingga perlu mengevaluasi kinerja kepolisian dalam hal penyidikan dan menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat dalam penanganan pidana.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Sekjen ASPERHUPIKI, Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A., bahwa simposium ini bertujuan untuk meninjau ulang beberapa pasal dalam RKUHAP yang dinilai mengeliminer dugaan penggunaan kekuasan yang berlebihan dan kewenangan lembaga peradilan terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Narasumber dalam simposium ini masing-masing menyoroti hal berbeda. Prof. Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H, (Guru Besar Hukum Pidana Unhas) menitikberatkan pada istilah “Penyidik utama” dalam RUU KUHAP yang dianggap akan mengebiri peran penyidik PPNS serta mensubordinasi kewenangan PPNS. Diakhir paparannya tersimpul bahwa tidak ada yang salah dengan penyidik utama. Terhadap harusnya koordinasi kepada Penyidik Polri tidak akan mengganggu profesionalisme PPNS, justru menguatkan fungsi daripada dan menutupi kekurangan sumber daya termasuk sarana/prasarana penyelidikan.
Direktur LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa, S.H., M.H. dalam paparannya cenderung mengungkap hukum di masyarakat. Ia membuka dengan temuan kasus-kasus penyiksaan dan pelanggaran prosedur hukum acara pidana dalam tahap pra persidangan. Menurutnya banyaknya kasus kekerasan oleh Aparat Penegak hukum dalam hal ini Kepolisian dikarenakan besarnya kewenangan kepolisian untuk menggunakan upaya paksa dan penggunaan instrumen kekerasan yang sah. Olehnya ia berharap Revisi KUHAP dapat memperkuat perlindungan hak asasi manusia.
Upaya paksa menjadi salah satu isu krusial dalam RUU KUHAP. Oleh karena itu, Iftitahsari, menutup dengan menyampaikan semangat untuk tetap mengawal RKUHAP, salah satunya dengan menghadirkan diskursus substansial oleh akademisi. Sebab pada dasarnya hukum acara pidana di Indonesia sudah perlu diubah karena adanya pergeseran nilai dan banyak ketentuan yang tidak sejalan dengan perubahan global. Oleh karena itu, perubahan yang diharapkan perlu mengedepankan HAM dan menguatkan Due process of law.