Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH UNHAS) bekerja sama dengan Pusat Perancangan Undang-Undang Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Badan Keahlian DPR RI serta Mahkamah Agung Republik Indonesia menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Uji Konsep Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim” di Hotel Four Points by Sheraton pada Kamis (31/7). Kegiatan ini bertujuan untuk menjaring masukan dan aspirasi dari berbagai pihak, termasuk lembaga penegak hukum dan kalangan perguruan tinggi, sebagai bentuk partisipasi publik yang bermakna (meaningful public participation) dalam proses penyusunan Naskah Akademik (NA) dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jabatan Hakim.
Kegiatan ini dihadiri oleh Plt. Kepala Badan Keahlian DPR RI, Dr. Lidya Suryani Widayati, S.H., M.H., dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H., M.A.P., yang juga menandatangani Perjanjian Kerja Sama antara Pusat Perancangan Undang-Undang Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Kolaborasi ini merupakan langkah strategis dalam memperkuat sinergi antara lembaga legislatif dan akademisi dalam membangun sistem hukum nasional yang lebih responsif dan partisipatif.
FGD menghadirkan sejumlah narasumber ahli, baik secara luring maupun daring. Hadir secara langsung di lokasi, Hakim Agung Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. Yanto, S.H., M.H., yang membahas penguatan hakim sebagai pejabat negara. Ia menyoroti pentingnya transisi status hakim dari Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi pejabat negara, pengaturan hak keuangan dan fasilitas, serta mekanisme rekrutmen, pembinaan, pengawasan, pelindungan, dan pemberhentian hakim. Guru Besar Fakultas Hukum UNHAS, Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H., juga menjadi pembicara dengan membahas konsep ideal pengaturan status hakim sebagai pejabat negara, dampak kenaikan usia pencalonan dan perpanjangan masa pensiun terhadap keuangan negara serta formasi hakim, serta menyampaikan sejumlah masukan konkret terhadap RUU tersebut.
Sementara itu, narasumber yang hadir secara daring juga memberikan kontribusi penting terhadap diskusi. Dr. Imran, S.H., M.H., selaku Tenaga Ahli Komisi Yudisial, membahas formulasi sistem pengawasan hakim di empat lingkungan peradilan, termasuk hakim ad hoc dan hakim agung, serta mengangkat isu dualisme pengawasan etik antara Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum., menyoroti urgensi pengaturan status hakim ad hoc dalam RUU, isu contempt of court, serta menyampaikan masukan normatif terhadap RUU. Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Dr. Sherlock Halmes Lekipiouw, S.H., M.H., membahas dampak pemberian fasilitas dan jaminan keamanan terhadap kinerja hakim, serta pentingnya peningkatan pendidikan dan pelatihan hakim. Sementara itu, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Victor Th. Manengkey, S.H., M.H., membahas mekanisme perekrutan, hak dan kewajiban hakim, serta isu pengaturan imunitas hakim dalam RUU Jabatan Hakim.
Diskusi ini dimoderatori oleh Fajlurrahman Jurdi, S.H., M.H., dosen FH UNHAS. Adapun peserta FGD meliputi para kepala pusat dan pejabat fungsional di lingkungan Badan Keahlian DPR RI, para hakim, perwakilan Komisi Yudisial wilayah Sulawesi Selatan, aparat penegak hukum, serta akademisi dari berbagai perguruan tinggi. Melalui forum ini, para peserta berkesempatan memberikan masukan strategis yang akan menjadi bagian dari penyusunan dan perbaikan substansi RUU Jabatan Hakim ke depan.
Penguatan jabatan hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman merupakan bagian integral dari upaya reformasi sistem peradilan di Indonesia. Saat ini, status hakim telah ditetapkan sebagai pejabat negara berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sebelumnya, hakim berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, namun status tersebut dinilai rentan terhadap intervensi struktural dan birokratis yang dapat mengganggu independensi hakim. Oleh karena itu, perubahan status ini penting untuk memastikan kemandirian hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan secara profesional dan tidak memihak.
Meski demikian, dalam praktiknya, masih banyak aspek jabatan hakim yang mengikuti pola ASN, seperti pengangkatan, jenjang karier, pemberian fasilitas, hingga sistem pengawasan. Dalam hal ini, RUU Jabatan Hakim diharapkan dapat merumuskan ketentuan secara komprehensif mengenai kedudukan, rekrutmen, pengawasan, pembinaan, hingga mekanisme pemberhentian hakim, termasuk untuk hakim ad hoc. Hal ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, seperti Putusan Nomor 32/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa hakim ad hoc tidak secara otomatis termasuk dalam kategori pejabat negara, dan penetapan statusnya merupakan open legal policy dari pembentuk undang-undang.
RUU Jabatan Hakim juga perlu merespons dinamika pengaturan rekrutmen hakim pasca Putusan MK Nomor 43/PUU-XII/2015 yang membatalkan ketentuan seleksi pengangkatan hakim secara “bersama” antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Dalam sistem peradilan satu atap (one roof system), kewenangan pengangkatan hakim berada sepenuhnya di bawah Mahkamah Agung. Oleh karena itu, FGD ini menjadi forum strategis dalam menghimpun berbagai pandangan dan usulan dari para pemangku kepentingan untuk menyempurnakan RUU secara menyeluruh serta menjadi wujud nyata sinergi antara akademisi, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan masyarakat dalam memperkuat sistem hukum nasional yang menjunjung tinggi prinsip negara hukum dan independensi kekuasaan kehakiman.