Fakultas Hukum Unhas menggelar Kuliah Tamu Hukum Laut dengan menghadirkan pembicara Dita Liliansa, S.H., LL.M. yang merupakan Peneliti dari Centre for International Law (CIL) National University of Singapore. Kegiatan ini berlangsung pada Selasa (12/11) secara daring dan dibuka secara resmi oleh Dekan FH Unhas Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H., M.A.P. dan turut dihadiri oleh Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Prof. Dr. Maskun, S.H., LL.M. Bertindak sebagai moderator yakni Dosen FH Unhas Rafika Nurul Hamdani Ramli S.H., LL.M.
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH Unhas) kembali menggelar Kuliah Tamu Hukum Laut dengan menghadirkan pembicara terkemuka, Dita Liliansa, S.H., LL.M., yang merupakan Peneliti dari Centre for International Law (CIL) di National University of Singapore. Kuliah tamu ini berlangsung pada Selasa, 12 November 2024, secara daring, dan dibuka secara resmi oleh Dekan FH Unhas, Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H., M.A.P. Hadir dalam acara tersebut Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Prof. Dr. Maskun, S.H., LL.M., serta sejumlah dosen dan mahasiswa FH Unhas. Kuliah tamu ini dipandu oleh Rafika Nurul Hamdani Ramli, S.H., LL.M., yang merupakan dosen di Fakultas Hukum Unhas, yang bertindak sebagai moderator.
Dita Liliansa memulai dengan menjelaskan Area-Based Management Tools (ABMTs) dan Marine Protected Areas (MPAs), serta perkembangan terbaru dalam hukum laut internasional yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan laut dan pengelolaan kawasan laut yang berada di luar yurisdiksi nasional. Ia menjelaskan bahwa dalam kerangka Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ), Konferensi Para Pihak (COP) memiliki kewenangan untuk menetapkan ABMT dan MPAs di wilayah laut internasional, atau di luar batas wilayah nasional. Namun, pembentukan ABMT dan MPAs ini tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengubah klaim kedaulatan atau yurisdiksi suatu negara atas suatu wilayah laut tertentu. Dengan kata lain, keputusan COP dalam hal ini tidak dimaksudkan untuk mengakui atau menolak klaim kedaulatan yang ada, dan pembentukan ABMT atau MPAs tidak boleh digunakan untuk merujuk atau menyelesaikan sengketa kedaulatan atau hak-hak atas suatu wilayah laut.
Dita Liliansa juga membahas pentingnya penerapan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam hukum laut internasional, yang tercermin dalam sejumlah putusan pengadilan internasional. Ia mengutip beberapa kasus penting yang menunjukkan bahwa prinsip kemanusiaan tidak hanya berlaku di bidang hukum internasional lainnya, tetapi juga dalam hukum laut. Kasus-kasus seperti Corfu Channel, MN Saiga, dan Arctic Sunrise menggarisbawahi kewajiban negara untuk memperhatikan hak asasi manusia dalam pengaturan hukum laut. Dalam kasus-kasus tersebut, pengadilan menekankan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak manusia, termasuk perlindungan terhadap nyawa manusia di laut dan perlindungan terhadap individu yang berada dalam bahaya di perairan internasional.
Lebih lanjut, Dita juga mengangkat peran penting hukum laut dalam konteks perubahan iklim. Di tengah tantangan perubahan iklim global, hukum internasional laut semakin berkembang untuk mengaddress isu-isu lingkungan, termasuk dampak pemanasan global yang berdampak pada laut, seperti kenaikan permukaan laut dan pengasaman laut. Dalam hal ini, ia menjelaskan bagaimana pengadilan internasional, seperti International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) dan Mahkamah Internasional (ICJ), memainkan peran yang krusial. ITLOS, misalnya, pada Mei 2024 mengeluarkan pendapat hukum yang diminta oleh Komisi Negara-negara Kepulauan Kecil mengenai dampak perubahan iklim terhadap kepulauan kecil yang rentan terhadap kenaikan permukaan laut dan kerusakan ekosistem laut. Pendapat ini menggarisbawahi kewajiban negara-negara untuk mengambil tindakan dalam pengendalian polusi laut yang terkait dengan perubahan iklim.
Dalam konteks yang lebih luas, Dita juga membahas permintaan pendapat hukum yang diajukan ke ICJ terkait kewajiban negara-negara untuk melindungi sistem iklim global dan lingkungan laut dari dampak emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Salah satu isu utama yang diangkat adalah kewajiban negara-negara besar yang telah menyebabkan polusi iklim global untuk bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan, khususnya bagi negara-negara kepulauan kecil yang paling rentan terhadap perubahan iklim. ICJ diminta untuk mengevaluasi kewajiban negara dalam hal ini, serta bagaimana kewajiban tersebut seharusnya diterapkan untuk melindungi generasi sekarang dan masa depan dari dampak perubahan iklim.
Kuliah tamu ini memberikan wawasan yang mendalam tentang keterkaitan antara hukum laut, hak asasi manusia, dan perubahan iklim. Dita Liliansa menggarisbawahi bahwa tantangan global terkait dengan perlindungan lingkungan laut dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan memerlukan kerja sama internasional yang erat serta penerapan hukum yang semakin menekankan pentingnya perlindungan hak asasi manusia dan tanggung jawab negara dalam mengatasi perubahan iklim. Kuliah ini juga menegaskan pentingnya peran pengadilan internasional dalam memberikan pedoman hukum yang jelas dan implementatif untuk negara-negara dalam mengelola isu-isu lingkungan laut yang semakin kompleks.