Tim Pengabdian PKM PK-Unhas Fakultas Hukum Unhas melakukan kegiatan Penyuluhan Hukum dengan tema “Penyuluhan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pemaksaan Perkawinan” pada Senin (6/3) di Kantor Kel. Bontomatene Kec. Segeri Kab. Pangkep. Tim yang terdiri dari Dosen FH Unhas dengan Ketua Tim yakni Dr. Nur Azisa, S.H., M.H., dan anggota Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H., M. Aris Munandar, S.H., M.H., dan Ismail Iskandar, S.H., M.H. Serta dua orang mahasiswa yakni Fhildzha Zafirin dan Nurul Hikmah.
Acara dibuka secara resmi oleh Lurah Bontomatene, Hamka, S.I.P., M.Si. Kegiatan ini merupakan rangkaian Dies Natalis Unhas yang ke-71 serta dukungan kepada pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam perlindungan Anak. Hadir sebagai narasumber yakni Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Pangkep Alimuddin, S.E. serta Dosen Departemen Hukum Pidana FH Unhas Arnita Pratiwi Arifin, S.H., LL.M. Penyuluhan diikuti masyarakat setempat dan beberapa pejabat Kantor Kelurahan Bontomatene.
Penyuluhan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang luas kepada masyarakat setempat mengenai pentingnya mencegah tindak pidana kekerasan seksual, terkhusus dalam mencegah pemaksaan perkawinan khususnya bagi Anak. Berdasarkan data dari Sekretaris Wilayah Komisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulawesi Selatan Marselina May, menunjukkan pada tahun 2020, pernikahan oleh orang yang berusia anak di Sulawesi Selatan mencapai angka 11,25 persen. Angka ini di atas angka nasional, yaitu 10,35 persen. Sedangkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPA-Dalduk KB) Provinsi Sulawesi Selatan mencatat bahwa pada 2021 ada 3.713 peristiwa perkawinan anak di Sulsel. Dengan rincian, 3.183 perempuan dan 530 laki-laki. Seiring dengan hal di atas, pada ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), maka perkawinan anak merupakan bagian dari kualifikasi tindak pidana.
Kategori Anak adalah setiap orang yang belum berumur 18 tahun termasuk Anak dalam kandungan. Salah satu dampak perkawinan Anak adalah berpotensi terjadi Stunting, sehingga sangat diharapkan masyarakat sadar akan hal itu. Bahkan dengan usia Anak, mereka masih labil dalam hal mengelola emosi, sehingga sangat rentan terjadi perceraian dini. Dasar hukum tindak pidana pemaksaan perkawinan diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Ada tiga jenis tindak pidana pemaksaan peerkawinan, yakni perkawinan Anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan. Orang yang membiarkan terjadinya tindak pidana pemaksaan perkawinan tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).